Islamic Calendar

sss

Free Shoutbox Technology Pioneer

iklan

XtraUang dotcom Cara Termudah Mendapatkan Uang Rp. 100.000 s/d Rp. 500.000!

Kamis, 12 Februari 2009

Hubungan Agama dan Filsafat

Kata Pengantar Umum


Hubungan Agama dan Filsafat
Dalam Ranah Peradaban Islam


I. Fatwa Bantahan dan Penegasan
Bila kita mau meringkas isi buku; Fashlu Al-Maqâl fî Taqrîr ma Baina Al-Hikmah wa Al-Syari’ah min Al-Ittishâl (Penegasan Kembali Hubungan Antara Hikmah dan Syariah), maka mestinya kita menyatakan bahwa isi buku ini merupakan fatwa bantahan dan penegasan tentang legalitas filsafat, serta pembangunan fiqih interpretasi. Yang dibalik semuanya, melontarkan persoalan hubungan agama dan masyarakat.
Sosok yang mefatwakan yang kemudian ditulis dalam bentuk karya buku ini adalah: “seorang imam dan hakim tertinggi Kordoba, juga merupakan sarjana Muslim terkemuka pada zamannya, yaitu; Abu Al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ruysd.”
Tidak dapat diragukan, bahwa fatwa Ibn Rusyd yang dituangkan dalam bentuk karya ini ditujukan pertama kali kepada kalangan ahli fiqih dan ahli kalam, terutama mereka yang “Melarang meneliti atau mempelajari” karya-karya orang-orang terdahulu—yang kebanyakan adalah karya-karya filsafat. Lebih jauh, mereka menghukumi kafir terhadap orang-orang yang bergelut dengan karya-karya tersebut, dengan tuduhan bahwa orang-orang yang bergelut dengan karya-karya para filosof terdahulu “Telah mengoyak kesepakatan ulama secara umum (Ijmâ’), karena mereka dianggap telah melakukan interpretasi teks-teks Syara’, yang menurut angggapan para ahli fiqih dan teolog bahwa teks-teks Syara’, “Telah disepakati oleh orang-orang Islam untuk dibawa pada makna-makna literalnya”.
Karena dakwaan itulah, kita dihadapkan pada fatwa Ibn Rusyd yang mengandung bantahan sekaligus pembaruan. Atau, fatwa yang mencoba mengkritik fatwa sebelumnya, yaitu fatwa para ahli fiqih dan para teolog yang menghukumi:

Larangan meneliti atau mempelajari karya para filosof terdahulu, terutama karya-karya logika dan filsafat.
Peng-kafir-an terhadap para filosof Muslim, karena mereka diangggap -dalam pandangan orang-orang yang me-fatwa-kannya- “Telah mengoyak kesepakatan ulama secara umum (Ijmâ’)” karena berani melakukan interpretasi.
Dua hukum yang terkandung dalam fatwa ini, menantang seorang ahli fiqih sekaligus seorang filosof Kordoba: Ibn Rusyd, untuk meneliti keabsahan hukumnya. Hasil dari penelitian tersebut, Ibn Rusyd akhirnya mengeluarkan fatwa yang berbeda. Ia membantah fatwa pelarangan dan pengkafiran. Ibn Rusyd menetapakan hukum yang merupakan kebalikan dari hukum pelarangan dan pengkafiran. Fatwa Ibn Rusyd menyatakan:

Bahwa “Mempelajari karya-karya para filosof terdahlu adalah wajib secara Syara’”. Dakwaan bahwa hikmah (filsafat) dapat mengancam eksistensi Syara’, merupakan dakwaan yang jauh dari kebenaran: “Karena kita kaum Muslimin menyatakan secara tegas dan pasti “Al-Qath’i” bahwa pandangan demonstratif (yang bersandar pada keniscayaan akal dan kenyataan empiris, serta eksperimen) tidak akan bertentangan dengan apa yang tersebut dalam Syara’. Karena Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, bahkan saling menyesuaikan. Bahkan, kebenaran adalah saksi atas kebenaran yang lain”. Oleh karenanya, maka “Hikmah adalah Teman sejawat Syari’ah dan saudara perempuan sepersusuan”.
Oleh karena itu, maka “Kita menyatakan secara tegas bahwa segala hal yang telah dicapai secara demonstratif (pandangan filosofis) jika berlawanan dengan makna literal Syara’, maka makna literal Syara’ itu menerima untuk diinterpretasikan berdasarkan ketentuan-ketentuan interpretasi Arab” ­–yang berbeda dengan ketentuan-ketentuan interpetasi kaum esoterik (Al-Bâthinîyyah)- yang landasannya adalah “Pengeluaran signifikasi lafal dari signifikasi yang hakiki ke dalam signifikasi yang metaforis dengan tanpa mengabaikan kebiasaan lisan Arab dalam membuat metaforis (dalam penggunaan Majâz) dari penamaan sesuatu karena keserupaanya “Al-Tasybîh”, atau karena menjadi sebab atau akibat, atau karena merupakan bandingannya, atau karena hal lain, sebagaimana yang termuat dalam pengertian jenis-jenis ungkapan metaforis.
Adapun pengkafiran, karena dakwaan “Telah mengoyak ijma dalam persoalan interpretasi”, maka hukum dakwaan tersebut tidak dapat dibenarkan (Bâthil). Sebab, di satu sisi, “Ijma’ dalam hal-hal teoritis (ilmu-ilmu rasional, persoalan-persoalan keyakinan) tidak dapat diketahui secara pasti, sebagaimana -dapat diketahui secara pasti- dalam hal-hal praktis” (hukum-hukum fiqh ‘amali). Sedagkan di sisi lain, jika interpretasi merupakan proposisi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak diragukan oleh satu orang mukmin, bahkan dapat menambah keyakinan seseorang dalam upaya “Penggabungan antara nilai-nilai rasional dan tradisional”, maka hal itu tidak berarti bahwa semua teks-teks agama harus diinterpretasikan. “Oleh karena inilah, kaum muslimin sepakat bahwa seluruh lafal-lafal Syara’ tidak harus dibawa ke dalam makna literalnya, atau seluruhnya dikeluarkan ke dalam makna interpretasi. Sebab, mereka sendiri bersilih-pendapat dalam hal; mana yang boleh diinterpretasikan, dan mana yang tidak boleh diinterpretasikan”.
Fatwa yang mengandung nilai pembaruan ini, tampaknya tidak jauh berbeda dengan fatwa-fatwa dan hukum-hukum pengadilan yang pernah dilakukkan oleh tokoh-tokoh Islam sebelumnya. Namun, fatwa ini dibangun berdasarkan sudut pandang seorang ahli fiqih, juga filosof; yang bertumpu pada nilai-nilai rasional dan tradisional (Al-Ma’qûl wa Al-Manqûl). Sehingga tidak heran, bila fatwa pembaruan ini memperlihatkan kepiawaian sosok yang memfatwakannya dalam bidang ilmu fiqih, kalam, dan falsafah. Di samping kemampuan dealektis dan demonstrasinya yang luar biasa. Kepiawaian ini nantinya akan kami jelaskan lebih mendalam pada “Studi Analisis Pendahuluan”.
Sedangkan dalam Pengantar Umum ini, kami akan berusaha menguraikan kondisi dan latar-belakang yang melahirkan fatwa larangan meneliti atau mempelajari karya-karya para filosof terdahulu, dan pengakfiran terhadap orang-orang yang bergelut dalam bidang filsafat. Hal ini perlu kami uraikan, melihat bahwa setiap persoalan apa pun yang terjadi, pasti mempunyai latar belakang sejarah. Oleh karenannya, tanpa menyingkap tahapan-tahapan sejarah lahirnya kedua fatwa yang berlawanan tersebut, kita tidak akan bisa memahami sudut pandang dan motif yang melahirkan fatwa seorang ahli fiqih juga filosof Kordoba, Ibn Rusyd.

II. Filsafat Islam: Antara Politik dan Ideologi

Filsafat dalam sejarah peradaban Arab-Islam ditandai karena adanya dua indikasi yang sangat menonjol. Pertama, karena indikasi politis-ideologis. Kedua, karena pemikiran teoritis. Hal ini dapat dilihat, bahwa kebutuhan kepada filsafat, persis sama dengan kebutuhan untuk memeranginya, bahkan menyumbat kran-kran kebebaan berpikir bagi para ahlinya., yang secara sengaja maupun tidak sengaja, selalu terjadi karena pertimbangan-pertimbangan politik.
Akan tetapi, karena filsafat merupakan salah satu cabang ilmu para filosof terdahulu (’Ulûm Al-Awâ`il), bahkan merupakan pondasi bagi semua keilmuan mereka. Di samping itu, karena budaya Arab-Islam, dalam pertumbuhan dan perkembangannya berupaya mengasingkan keilmuan para filosof terdahulu sebagai upaya untuk menunjukan kemerdekaan identitasnya, sekalipun upaya itu merupakan petanda bahwa pelaku-pelaku yang memainkan peran dalam kancah budaya Arab-Islam “murni”, ingin menampakkan perseteruan sekaligus menunjukan “kecemburuan” mereka terhadap keilmuan para filosof terdahulu, terutama keilmuan yang ditranformasikan melalui proyek penerjemahan, di mana masing-masing keilmuan itu mengibarkan bentuk-bentuk ”perbedaan” antara satu budaya dengan budaya lainnya: perbedaan pada level bahasa dan istilah, perbedaan penyusunan dan penjelasan, terutama sekali perbedaan pada level pandangan dunia.
Kami akan mencoba menguraikan secara ringkas tengtang dua indikasi di atas: politik dan pemikiran dalam sejarah filsafat Islam. Kami akan memulainya dari indikasi pertama dengan menitik-beratkan pada aspek-aspek yang berhubungan langsung dengan obyek pembicaraan kita, yaitu fatwa pengharaman terhadap penelitian dan pandangan filosofis, atau fatwa Ibn Rusyd yang berlawanan.

1. Daratan Timur “Masyriq”: Negara dan Filsafat

A. Dari Awal Karena Pertimbangan Politik
Sumber-sumber sejarah klasik menyebutkan bahwa Khâlid bin Yazîd bin Mu’âwiyah bin Abî Sufyân yang meningal tahun 75 H, adalah orang yang kali pertama sibuk melakukan tranformasi ilmu-ilmu lama (Al-‘Ulûm Al-Qadîmah), terutama ilmu kimia, perbintangan dan kedokteran. Ia pernah singgah di Damaskus, setelah lawatannya ke Iskandariyah; sebuah kota yang terkenal sebagai tempat tranformasi karya-karya Yunani dan ilmu-ilmunya. Bahkan, sejak abad ke 2 M, Iskandariyah hingga saat itu menjadi tanah air bagi filsafat agama Hermesian. Beberapa sumber pun menyebutkan bahwa tujuan penguasa tahta kerajaan Umawi ini adalah ingin mewujudkan cita-citanya yang dapat dicapai melalui ilmu kimia, -persoalan utama ketika itu adalah bagaimana merubah barang logam yang tidak berharga, seperti timah dan tembaga, menjadi barang logam yang berharga, seperti perak dan emas—demi pengumpulan dana guna mengembalikan hak kekuasaanya (Khilâfah) yang sempat tergoyahkan. Sebab dalam muktamar Al-Jâbiyah yang diadakan tahun 64 H, para elit Umawiyah menyepakati bahwa sepeninggalan Yazîd bin Mu’awiyah, kekhalifahan sepenuhnya diserahkan kepada Marwân bin Hakam, setelahnya, baru diserahkan kepada Khâlid bin Yazîd, kemudian kepada ‘Amru bin Sa’îd bin ‘Âsh. Namun, kesepakatan tersebut ditampik oleh Marwan. Sehingga, kekuasaan khilafah sepenuhnya diserahkan langsung kepada Khâlid bin Yazîd, yang selanjutnya disusul dengan pembai’atan kepada kedua anaknya: yaitu, Abdul Malak dan Abdul ‘Aziz.
Apabila riwayat sejarah itu benar, maka persoalannya bersifat politik. Artinya, kebutuhan terhadap pengumpulan dana yang bertujuan untuk mengembalikan “hak kekhalifahan sepenuhnya” merupakan latar-belakang dibalik upaya “tranformasi dari suatu bahasa ke bahasa lain yang pertama kali terjadi dalam Islam”, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Nadîm. Di tambah lagi, ketika “sesuatu yang ditranformasikan” adalah ilmu kimia, yang saat itu bertalian-erat dengan “peramalan”, dan termasuk kumpulan “ilmu-ilmu rahasia” yang bersifat sihir. Sehinggga mengandung keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam dan prisnsip keimanan, karena ilmu kimia yang tranformasikan itu meyakini keterpengaruhan bintang-bintang terhadap nasib manusia, dan keterpengaruhan itu dinisbatkan kepada selain Allah. Karena alasan inilah, ilmu-ilmu yang telah ditranformasikan mendapat kecaman dan reaksi keras dari para ahli fiqih. Bahkan, mereka tidak segan-segan memutuskan bahwa ilmu-ilmu para filosof terdahulu mengandung nilai paganis dan kemusyrikan. Konsekwensinya, muncullah fatwa pengharaman (filsafat).
Indikasi politik lain, yang sejak awal berkaitan dengan sejarah ilmu-ilmu lama (Al-‘Ulûm Al-Qadîmah) dalam peradaban Islam. Kali ini, berkaitan dengan “fungsionalisasi ideologi” yang membenturkan unsur-unsur budaya lama agar berkecamuk melawan eksistensi negara Umawiyah. Orang-orang yang melakukan fungsionalisasi ini, dalam berbagai buku sejarah mengenai aliran-aliran (Al-Firaq) dikenal dengan sebutan Al-Ghulâht: sebutan yang diperuntukan kepada mereka yang bersikap ekstrim mencintai kebenaran. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah para imam Syi’ah; yang diyakini mencapai derajat kenabian dan ketuhanan. Sebagian mereka bahkan memposisikan dirinya berada pada derajat kenabian dan ketuhanan.
Mereka (Al-Ghulâht) mefungsionalisasikan kepingan-kepingan filsafat agama Hermesian yang sempat hadir berserakan di Kufah, yang sepanjang garis lengkungnya berlawanan dengan akidah tauhid sebagaimana yang terurai secara tegas dan jelas dalam Al-Qur’an. Filsafat agama Hermesian meyakini adanya “perantara-perantara” atau akal-akal langit (Al-‘Uqûl Al-Samâwiyyah) yang memperantarai antara Allah dan alam semesta, bahkan bintang-bintang pun diyakini sebagai pernik-pernik keperantaraan tersebut. Karena keyakinan inilah, para pengikut agama ini (terutama sekali mereka yang dikenal dengan sebutan Al-Shâbi`ah dan Al-Shâbi`ah Harrân) menjadikan candi-candi dan patung-patung sebagai perantara-perantara “yang dapat mendekatkan diri mereka” kepada kekuatan tertinggi, dan menemukan rahasia-rahasia dibalik kekuatan itu. Secara umum, filsafat agama Hermesian—pada dasarnya—meyakini “rahasia-rahasia” yang membolehkan orang-orang tertentu mencapai kekuatan yang diluar kelaziman manusia, baik dicapai karena keterkaitannya dengan alam tertinggi, maupun karena mampu menunjukan keajaiban-keajaiban, sehingga orang-orang tertentu dapat menduduki kewibawaan spiritual, dan mudah memobilisasi masyarakat.
Tujuan utama mereka (Al-Ghulâht) dalam melakukan fungsionalisasi filsafat agama Hermesian yang bersifat sihir tersebut adalah untuk membentengi orang-orang yang tidak suka terhadap pemerintahan Umawiyah, dengan menelusup dibalik wajah imam-imam Syi’ah yang cenderung melakukan interpretasi esoterik (Al-Ta`wîl Al-Bâthinî) terhadap teks-teks Al-Qur’an. Interpretasi esoterik ini merupakan interpretasi yang keluar dari obyek, konteks dan sebab-sebab turunnya teks, dan berusaha menarik makna-makna teks sesuai dengan maksud dan tujuan mereka yang bersifat politik. Konsekwensinya, apa yang mereka lakukan pun membangkitkan kecaman atau reaksi keras para ahli fiqih. Lebih dari itu, menimbulkan kekejaman para penguasa Umawi yang ditandai dengan banyaknya keputusan yang berupa hukuman mati terhadap mereka. Kondisi ini terjadi pada akhir dekade kekuasaan Umawiyah.
Ketika revolusi yang dilakukan orang-orang ‘Abbasiyah berhasil menumbangkan kekuasaan Umawiyah, mereka pada akhirnya tidak mengakui peran orang-orang yang dianggap “ekstrim” dalam kemenangan revolusi tersebut. Akibatnya, mereka “orang-orang ekstrim” berubah haluan menjadi gerakan oposisi bersenjata. Namun, setelah merasa tidak berhasil, mereka memilih strategi oposisi yang bersifat kultural. Yang ditandai dengan banyaknya para pengikut imam-imam Syi’ah yang berasal dari kalangan cendekiawan, mereka melakukan fungsionalisasi tradisi Hermesian yang bersifat ilmiyah dan filosofis sebagai upaya untuk menopang pandangan politik mereka. Dari upaya tersebut, mereka mampu menciptakan rumusan-rumusan komprehensif bagi kaum esoterik. Tidak heran bila aliran esoterik “Al-Bâthiniyyah” pada akhirnya menjadi gerakan bawah tanah yang merongrong dunia Islam; dari mulai daratan Timur “Masyriq”, hinggga daratan Barat Islam “Maghrib”, bahkan mengancam eksistensi kekuasaan ‘Abbasiyah, baik kekuasaan yang dilimpahkan pada negara-negara bagiannya, maupun pusatnya.
Ini di satu sisi. Sedangkan di sisi lain, ketika kekuasaan Umawiyah berada pada kejayaannya, pada masa itu, muncul gerakan-gerakan oposisi politik agama yang cenderung rasional dan tercerahkan, bahkan berusaha melakukan rekonsuliasi dan reformasi sistem kekuasaan. Di antaranya adalah gerakan yang tumbuh dari komunitas “Al-Murji’ah”; aliran yang tidak sepakat terhadap pandangan orang-orang Khawârij yang menganggap orang-orang Umawiyah adalah kafir, atau pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabîrah). Gerkan lainnya, adalah gerakan yang tumbuh dari komunitas “Al-Qadariyyah”; aliran yang melawan Fatalisme “Jabariyah” yang telah resmi menjadi ideologi para penguasa Umawiyah untuk melegalisasikan perilaku-perilaku mereka. Gerakan ini meyakini bahwa manusia mampu menciptakan perilaku-perilakunya, dan meyakini bahwa manusia sendirilah yang bertanggungjawab atas perilaku-perilaku yang diciptakannya. keyakinan yang muncul dari sikap kritis tersebut, jelas berlawanan dengan ideologi resmi orang-orang Umawiyyah untuk melegalisasikan tindakan-tindakan mereka yang selalu dinisbatkan kepada Qadha dan Qadar Allah. Sedangkan lawan dari kelompok gerakan Al-Qadariyyah ini adalah mereka yang mengklaim dirinya sebagai “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”; aliran yang dibangun oleh mayoritas kalangan ahi fiqih yang memilih “jalan penyelamatan diri”. Mereka mengutamakan pemerintahan Umawiyah yang tidak adil ketimbang fitnah dan revolusi terus berkecamuk. Dengan makna lain, mereka menempuh jalan “konservatif”, baik dalam persoalan agama, maupun dalam persoalan politik. Pada gilirannya, kedua aliran yang muncul pada masa kekuasaan Umawiyah ini tampak saling mempengaruhi. Pertama, aliran reformis rasionalis yang cenderung berpihak pada paham “Al-Qadariyah” yang kemudian disebut “Mu’tazilah”. Kedua, aliran konservatif yang mayoritas cenderung bersikap stagnan (Taqlîd). Mereka seringkali melakukan rekonsuliasi terhadap kondisi yang ada. Aliran ini kemudian mengklaim dirinya dengan sebutan “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”.
Ketika revolusi ‘Abbasiyah terwujud berkat para aktifis dari aliran pertama, yang sejak awal kemenangan revolusi tersebut dikenal dengan Mu’tazilah. Sedangkan kaum konservatif yang kebanyakan dari aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tetap mempunyai loyalitas terhadap orang-orang Umawiyah. Apalagi, mereka banyak mendapat indtimidasi dari orang-orang ‘Abbasiyah. Hal itu karena pada masa awal kekuasaan Abbasiyah, orang-orang ‘Abbasiyyah sengaja menomersatukan rencana untuk memberantas sisa-sisa orang-orang Umawiyah dan pengikut-pengikutnya. Di sinilah, masa ‘Abbasiyyah pertama terjadi pergeseran posisi; antara “partai pemerintahan” dan “partai oposisi”: aliran Al-Qadariyah yang rasional (Mutazilah) yang sebelumnya menjadi oposan suatu kekuasaan, menjadi bergeser melebur bersama kekuasaan hingga terbentuk kelompok cendekiawan yang bertugas menghalau aliran-aliran oposisi dari luar Islam. Seperti, aliran Al-Manâwiyah dan aliran lainnya. Sedangkan ahli-ahli fiqih (sunah) konservatif yang dulu diterima oleh para penguasa Umawiyah, berubah menjadi partai oposisi yang mengibarkan bendera atas nama agama.
Di sini, maka keberadaan negara ‘Abbâsiyah menimbulkan dua partai oposisi. Pertama, oposisi yang muncul dari luar kekuasaan negaranya, yang dianggap dapat merongrong kekuasaan, sebagaimana negara Umawiyah yang pernah merasa dirongrong oleh oposisi Syi’ah dan organisasi-organisasi Bâthiniyyah, yang mefungsionalisasikan sisi gnostis-esoterik dari ilmu-ilmu orang-orang terdahulu. Kedua, oposisi yang muncul di dalam negara, yang dianggap karena menyimpang dari ideologi kekuasaan, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Oposisi ini kebanyakan dari kalangan Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah. Kalangan ini banyak melakukan fungsionalasisi hadis Nabi hingga larut menjadi “wadh’i”, berpegang teguh pada makna literal teks-teks Syara’, dan mengutamakan “riwayah” daripada “dirayah”. Orang yang paling terkemuka dalam partai oposan ini adalah Ahmad bin Hambal, kemudian orang-orang Asy’arî.

B. Logika Negara: Kebutuhan Terhadap Ilmu Logika
Dengan logika eksplinasi, Mu’tazilah tidak kuasa membendung cendekiawan Syi’ah yang berbaju filsafat agama esoterik, sekalipun mereka mampu menyangkal logika kamu Zindiq; pengikut aliran Mânawiyah, dan melawan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah; Ahl hadits dan riwayah. Namun, mereka tidak mampu menghancurkan gnostisisme-esoterik. Lebih-lebih gonstisisme yang dibangun dengan pondasi filsafat agama Hermesian dan mefungsikan filsafat Yunani dengan segala cabang keilmuannya untuk mengokohkan pandangan dunia mereka yang dibangun di atas keidentikan dan persesuaian antara manusia dan alam semesta, antara kerajaan langit dan kerajaan bumi, antara sistem alam; bumi dan langit dan sistem negara. Yang seluruhnya merupakan bangunan yang diimpikan oleh kaum esoterik. Dari segi konsep keidentikan dan persesuaian, antara ketuhanan dan kemanusia, hingga pada tingkat yang membolehkan seorang ‘imam” mencapai posisi ketuhanan, tidak jauh berbeda dengan dengan esoterik yang ditawarkan oleh Ismâ’ilyyah.
Karena itulah, Mu’tazilah tidak kuasa masuk ke dalam pergulatan ideologi dengan kaum esoterik-filosofis. Sebab, dunia Mu’tazilah adalah eksplanasi, sedangkan dunia kaum esoterik adalah Gnostis, padahal jembatan antara dua dunia tersebut belum terbangun saat itu. Oleh karenanya, harus menciptakan senjata lain untuk menghadapi kaum esoterik dan filsafat agamanya. Dan tidak ada senjata lain yang mampu menghadapi gnostis kecuali “logos” atau akal. Karena filsafat esoterik dinisbatkan kepada Pythagore, Empedocle D’Agrigente dan filosof-filosof Yunani lainnya yang berorientasi spiritual, di mana rival mereka, dalam dunia pemikiran Yunani sendiri, adalah Aretoteles dan filosof-filosof peripatetik. Sehingga, menjadikan Aresto sebagai par exellence; dengan ilmu logika dan pandangan filosofisnya merupakan keharusan, bila secara praktis ingin menghadapi gnostis-esoterik dan segala kecenderungannya.
Inilah yang menjadi salah satu keinginan dari “Impian Al-Ma`mûn”: suatu impian yang dikatakan oleh Ibn Nadîm bahwa hal tersebut “Sebab terpenting dari penerbitan buku-buku”, yaitu buku-buku Arestoteles dan penerjemahan karya-karyanya ke bahasa Arab. Dalam impian ini, Arestoteles dihadirkan menjadi tiga kategori. Pertama, sesuatu yang dianggap baik menurut akal. Kedua, sesuatu yang dianggap baik menurut Syara’. Ketiga, sesuatu yang dianggap baik menurut masyarakat. Yang dibalik semuanya adalah menghancurkan Gnostisme sebagai sumber penilaian terhadap hal yang baik dan yang buruk, atau sebagai sumber epistemologi, atau secara umum adalah sebagai sumber untuk memberi nilai terhadap segala sesuatu.
Berlindungnya Al-Ma`mûn kepada Arestoteles untuk memerangi gnostisisme dan filsafat agama esoterik ini bukan merupakan hal yang menyimpang atau hal yang baru dalam sejarah kebudayaan dunia. Dulu, kaum Gereja pun pernah mendapat serangan gnostis yang cukup ganas, tidak bisa dilawan kecuali dengan fungsionalisasi logika Arestoteles. Dan kenyataannya, hal tersebut merupakan langkah awal diusungnya logika dan filsafat Arestoteles oleh orang-orang Nasrani Arab, yang kemudian oleh orang-orang Islam ke Bait Al-Hikmah, Baghdad.
Dengan demikian, berlindung ke Arestoteles merupakan bagian strategi budaya yang penopangnya adalah penyebaran pengetahuan ilmiyah (berdasarkan bentuk-bentuk rasionalitas yang paling sempurna pada masanya) dan bersandar ke logika Arestoteles adalah jalan untuk menetapkan dan mempertahankan idea pemikiran. Padahal, bersandar pada logika dan pengetahuan ilmiyah yang ditulis oleh Arestoteles ini bertujuan untuk menghancurkan ideologi kaum esoterik, yang juga menjadi musuh besar Ahl Sunnah wa al-Jama’ah dan Mu’tazilah. Sehingga reaksi terhadap musuh pun menampakkan sesuatu hal yang tidak terduga: pernyataan, “Musuh dari musuhku adalah sahabatku” kali ini kebenaran pernyataan tersebut tidak valid lagi. Sehingga, Arestoteles yang diusung untuk menghancrukan ideologi kaum esoterik tidak mendapat sambutan yang layak dari kalangan Mu’tazilah dan Ahl Sunnah wa Al-Jama’ah sekalipun masing-masing dari keduanya saling bermusuhan secara ideologis, namun sikap permusuhan kedua aliran ini berada pada satu parit, yaitu melawan Arestoteles dan filsafatnya secara umum, sebagaimana keduanya melawan kaum esoterik.
- Mu’tazilah melawan Aresto dan keilmuannya karena ia diusung untuk menempati logika dan kalam mereka yang telah dikonstruknya dengan pondasi al-Syâhid –alam indrawi- yang setiap bentuknya dapat dijadikan standar dalil terhadap alam ghaib, atau mengilustrasinya dengan Allah: Zat, sifat dan af’al-Nya yang dibangun oleh mereka. Dari sini, maka titik tolak pemberangkatan Mu’tazilah berasal dari landasan yang bersifat teologis, mereka bersandar pada “alam nyata”. Artinya, dari setiap alam nyata yang mencakup bahasa, masyarakat, dan natural. Sedangkan logika Aresto bertitik tolak dari data-data natural, demi menyibak undang-undang dan sistemnya secara rasional yang dianggap sebagai ilmu ketuhanan, sampai pada puncaknya yaitu penggerak pertama yang telah merupakan asal dari gerakan alam semesta.
- Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah melakukan perlawan terhadap Aresto dan keilmuannya, karena seperti yang terurai di atas. Disamping itu, Aresto menjadikan akal sebagai satu-satu sumber, sedangkan mereka meyakini tradisi dan riwayat serta lain sebagainya.
- Sedangkan al-Bâthiniyyah, mereka menggunakan logika dan keilmuan Aresto secara pragmatis: mereka menjadikan sebagain pemikiranya yang sesuai dengan bagi mereka untuk difungsionalisasikan dalam filsafat agama mereka dan meninggalkan yang dianggapnya tidak sesuai dengan mereka.

C. Logika Negara: Kebutuhan Terhadap “Sunah”
Pada kesempatan lain, politik, lagi-lagi memainkan peran dalam membentuk aliran dan ideologis. Khalifah Abbasiyah; Mutawakkil mencoba menyingkirkan aliran Mu’tazilah dan bersekutu dengan kelompok “Ahl Sunnah” karena pertimbangan-pertimbangan politik internal yang terjadi di luar pergulatan paham antar-aliran yang telah kami bicarakan di atas. Mutawakkil menghendaki rekonsuliasi sejarah yang sebenarnya menyimpan sikap opurtunis. Karena keberpihakannya dengan kekuatan oposisi: Sunni-Hambali yang kian menguasai masyarakat Islam, berharap untuk menghalangi kekuatan militer Turki, atau paling tidak, menutup kekuatan mereka dengan kekuatan Ahl Sunnah. Sebab, kekuatan Turki semakin menguat sampai pada tingkat yang saat itu Mutawakkil sendiri pernah menjadi tawanan mereka. Lebih dari itu, mereka berupaya membunuhnya dan seringkali menciptakan propaganda yang mereka susun secara rapih bersama anak Mutawakkil sendiri.
Begitulah, akibat dari persoalan politik yang cukup kompleks, sehingga Ahl Sunnah menempati ideologi negara, mereka menempati tempat yang pernah Mu’tazilah duduk bersila di atas api kekuasaannya. Karena keberadaannya yang dipuncak kekuasaan, Ahl sunnah berupaya mempersempit langkah-langkah Mu’tazilah, bahkan menutup kehadirannnya dalam kancah budaya dan ideologi. Pengembangan budaya hanya dilakukan oleh kalangan Ahl sunnah sendiri, sekalipun “tradisi” (al-Naql) dan “periwayatan” (al-Riwâyah) yang menjadi dasar epistemologi mereka tidak dapat mencukupi untuk membangun konsep dan ideologi negara. Atau paling tidak, untuk mengimbangi aliran-aliran lain yang menjadi rivalnya; yang bersandar pada akal sebagai alat untuk memutuskan dan mengembangkan aliran-aliran mereka. Pada akhirnya, Ahl sunnah pun terpaksa membangun jalan yang hampir sama ditempuh Mu’tazilah, terutama ketika salah satu murid Mu’tazilah Abu al-Hasan al-Asy’ari (300 H) mencoba menarik diri dari kelompok Mu’tazilah dan bergabung dengan Ahl- Sunnah, serta mencoba merintis “jalan tengah” dengan mengatasnamakan dirinya, yaitu: aliran Asy’arî (al-Mazdhab al-Asy’arî); yang membersihkan jalan Ahl Sunnah dan memotong jalan Mu’tazilah, agar menjadi ideologi negara ‘Abbasiyah yang selanjutnya menjadi akidah resmi bagi negara, sebagaimana akan kita lihat pada pembahsan berikutnya.

D. Filsafat Berubah Menjadi Obyek Persekongkolan bagi Kaum Esoterik
Sedangkan para filosof -sejak kemunculannya pertama kali, tidak pernah mendapat simpati perhatian pemerintahan pusat. Kenyataan ini seperti yang dialami al-Kindî yang hidup di masa kekuasaan al-Ma`mûn dan Mu’tashim. Dan karena kenyataan inilah, para filosof memandang proyek mereka hanya menjadi sejenis “impian filsafat” hingga lahir “tasawuf rasional” yang sengaja digulirkan pertama kali oleh al-Farâbî sebagai upaya untuk menopang teori emanasinya yang bersumber dari Neo-Platonis. Selanjutnya, upaya tersebut memberi inspirasi bagi Ibn Sinâ untuk mengaransemen menjadi gnostis yang memberi peluang bagi kaum Islam esoterik-Isma’ili “al-Bâthiniyyah-Ismâ’îliyyah” yang sejak lama menyimpan ambisi besar untuk merintis dan membangun filsafat Masyrîqiyyah yang hendak dibenturkan dan bersaing hingga menggeser posisi filsafat Peripatetik-Ariestotelian “al-Masyâiyyah al-Aristhiyyah”. Gnostisisme ini meberupaya mengakomodasi tradisi filsafat dan tradisi para teolog –Mu’tazilah, yang bertitik-tolak dari Al-Quran dan tradisi agama Islam. Demikianlah filsafat lahir terbentuk bersama al-Farâbî dan Ibn Sînâ dengan bentuknya yang seperti sosok yang mengisi muatan agama secara ideologis, sehingga filsafat menjadi obyek persokongkolan bagi aliran-aliran Islam esoterik yang berusaha dan terus berusaha mengisi muatan agama secara politis.
Dengan demikian, intrik-intrik perseteruan mulai terbatasi dan petunjuk-petunjuk persekongkolan melai tampak: khilafah Abbasiyah dengan aliran Asy’ari di satu pihak. Dan khilafah Fatimiyah dengan dengan aliran bathiniyah Isma’iliyah di pihak lain. Selanjutnya, orang-orang Fatimiyah membangun Jami’ Al-Azhar di Kairo sebagai tempat pendidikan dan pengembangan untuk membangun struktur kerangka bagi aliran dan negara, sebagaimana orang-orang Saljuk yang berkuasa di Baghdad dan aliran Asy’ari-Sunni pun membangun tempat-tempat pendidikan “al-Madâris Al-Nidzamiayah” untuk mengukuhkan pondasi terhadap kerangka aliran dan negaranya atas nama khalifah ‘Abbasiyah, terutama setelah para aktifis Isma’iliyah tersebar dan menamakan idea-idea mereka di Baghdad itu sendiri. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan Al-Ghazâlî dianggap sebagai sosok yang keilmuannya paling menonjol dan berani untuk menantang aliran Batiniyah dan melawan obyek persokongkolan: filsafat Ibn Sina.

E. Al-Ghazâlî Sebagai Fenomena Ideologi Negara: Babak Perlawanan Terhadap Esoterik dan Filsafat
Di sini, ketika kami menempatkan Al-Ghazâlî sebagai fenomena yang merepresentasikan ideologi negara Saljuk, masa Nidzam Al-Muluk dan anaknya, maka hal itu, dikarenakan perjalanan hidup Al-Ghazâlî dan pengakuan dirinya sendiri yang menegaskan ke arah itu, terutama sekali masa kehiduapan mudanya yang memulai karir sebagai juru bicara pemerintahan Saljuk, Nidzam Al-Muluk di Nisabur tahun 468 H. (Al-Ghazâlî dilahirkan tahun 450 H di salah satu kota Khurasan, Thus. Ia berguru kepada Imam Haramain, Al-Juwaini, salah satu pemuka Asy’ari pasa zamannya) Pemerintahan Nidzam Al-Muluk berusaha menciptakan citra budaya-politik untuk menghadapi genderang permusuhan “perang” kaum Bathiniyah yang riuh kecamuknya di ibu kota pemerintahan pusat Bagdad, sudah tampak semakin gawat. Tidak mengherankan jika pergulatan dan percaturan budaya-politik sudah mengarah ke praktek “tebusan” kematian nyawa manusia yang sejenis dengan pembunuhan politik. Banyak di antara korban praktek tersebut adalah para cendekiawan dan para elit negara (Nidzam Al-Muluk sendiri pun merupakan salah satu korban pembunuhan politik)
Oleh karena itu, Nidzam Al-Muluk mendirikan universitas-universitas yang dikenal dengan Al-Madaris Al-Nidzamiyah yang berupaya mengokohkan kontruksi mazhab Asy’ari sebagai mazhab resmi Negara untuk melawan tantangan kelompok Bathiniyah. Pada tahun 484 H, Nidzam Al-Muluk menugaskan Al-Ghazali sebagai maha guru di universitas Nidzam Bagdad. Di universitas tersebut Ghazali dinobatkan sebagai intelektual terkemuka dan juru bicara Nidzam Al-Muluk, sebagaimana Al-Ghazali sendiri bercerita tentang dirinya bahwa: “Ia berharap jabatan dan reputasi yang kondang”. Selanjutnya, ia menulis karya yang membantah ajaran-ajaran kelompok Bathiniyah dan pemikiran para filosof sebagai upaya menetapkan madzhab Asy’ari menjadi akidah resmi negara. Ia menetap di bagdad hingga bulan Rajab, tahun 488 H, kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya dan pergi ke Siria untuk menempuh jalan kaum sufi (tasawuf) semabari menulis karya-karya tasawuf.
Al-Ghazali dalam autobiografinya “Al-Munqidz min Al-Dhalal” mengatakan, dirinya pernah mendalami filsafat selama tiga tahun (484-487 H) saat ia mengajar di Bagdad. Diketahui bahwa selama dua tahun terakhir keberadaannya di Bagdad, Ia menulis karya yang membantah doktrin-doktrin kelompok Bathiniyah dan pemikiran para filosof, dan mengukuhkan madzhab Asy’ari secara resmi dengan bentuk dogmatis. Urutan dari penulisan karya yang ditulisnya selama dua tahun tersebut adalah: “Fadhâih Al-Bathiniyah wa Fadha`il Al-Mustazhiriyah” (dinisbatkan kepada khalifah Al-Mustazhir billah Al-‘Abbasi), kemudian Maqashid Al-Falasifah, yang disusul Tahafut al-Falasifah, dan diakhiri dengan karya Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad yang menguraikan akidah kelompok Asy’ari, yang tidak menggunakan metode ulama kalam terdahulu, akan tetapi ia menggunakan metode ulama kalam yang datang kemudian, meminjam istilah Ibn Khaldun, metode yang bersandar pada silogisme formal Aristotelea yang menggeser pembuktian alam nyata terhadap alam ghaib. Menulusupnya Al-Ghazali ke logika Aristoteles, dan menganggapnya “standar” bagi nalar secara umum, serta menegaskannya bahwa siapa saja yang tidak dapat menguasainya “maka keilmuannya sama sekali tidak terpercaya”, sebenarnya tidak demi logika itu sendiri. Akan tetapi, di atas segalanya, Al-Ghazali bertujuan menghantam teori “pengajaran” kelompok Batiniyah, teori yang menegaskan kewajiban kembali ke maha guru “Al-Mu’allim”, yaitu Imam Fatimiyah.
Al-Ghazali menulis karya-karya tersebut merupakan sikap loyalnya terhadap negara sunni Saljuk untuk mempersiapkan perang ideologi melawan rivalnya, kelompok Batiniyah, juga Mu’tazilah dan para filosof. Al-Ghazali mengetahui betul bahwa sandaran ideologi kelompok Batiniyah sama persis dengan kerangka filsafat yang dibangun oleh Ibn Sina. Sehingga, untuk menghancurkan eksistensi madzhab Al-Bathiniyah mengharuskan dirinya merobohkan kerangka filsafat yang dibangun Ibn Sina. Kedua hal tersebut, menantang dirinya untuk menyingkap tentang berbagai cela Al-Bathiniyah “Fadhâih Al-Bathiniyah” di satu pihak, dan memaparkan keranucuan para filosof Tahafut Al-Falasifah” di pihak lain.
Banyak dugaan bahwa Al-Ghazali menulis bantahan terhadap Al-bathiyah dan para filosof setelah terbunuhnya Nidzam Al-Muluk di tangan “orang yang berani mati” dari kaum Isma’iliyah tahun 485 H. Setelah Al-Ghazali merampungkan karya-karya bantahannya, ia mengalami krisis spiritual –barangkali juga krisis politik-, ia berangkat menunaikan ibadah haji lalu kembali menetap di Siria sampai ia memutuskan hubungan dengan pemerintahan Saljuk demi menempuh jalan tasawuf dan menulis buku tentang ilmu dan pengalaman spiritualnya.


2. Andalusia dan Maghrib: Fiqh dan Keterasingan Filsafat

A. Ketidakhadiran Aliran Islam: Menggagas Proyek Pemikiran.
Keterangan di atas merupakan realitas yang terjadi di Masyriq. Sedangkan Andalusia, yang pertama kali dibangun oleh Abdurrahmân Al-Dhâkhil—salah satu penguasa Muawiyyah yang selamat dari cengkraman orang-orang Abbasiyah—Negara yang bersaing semenjak masa Nashir (wafat tahun 350 H) bagdad Al-Ma`mun dalam pelbagai buku dan concern terhadap ilmu-ilmu rasional dan tradisional secara bersamaan. Adapun Andalus, termasuk Maghrib, tetap saja jauh dari pertiakaian aliran yang terjadi di Masyriq (Timur-Islam), antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, dan pada batas terentu, mampu menyingkirkan aktifitas Syi’ah yang esoterik. “Islam orang-orang salaf” menjadi tren dalam Andalusia dan aliran-aliran teologi lain bergerak di atas pinggiran seperti hanya gelombang yang datang dari pusat air yang jauh.
Pada saat Al-Baqalani, Abd Al-Qadir Al-Baghdadi, Abu Al-Hasan Al-Mawardi dan lainnya—dari kalangan teolog dan ahli fiqih—mereformulasi mazhab Asy’ari dan “menutup” batas dan cakrawalanya, sesuatu yang mengkristal dalam dua lembar teks yang dibagikan kepada masyarakat atas nama “Al-I’tiqâd Al-Qadiri”—yang dinisbatkan kepada khalifah Abbasiayh Al-Qadir (322-381) dan meminta mereka agar mengikatkan diri hanya pada keyakinan itu, setelah “para ahli fiqih menulis konsepsi mereka bahwa keyakinan ini adalah mereupakan keyakinan umat Muslim, dan siapa saja yang menentangnya, maka ia telah berbuat fasik dan kafir”, dan pada waktu yang sama, kira-kira Ibn Hazm Al-Andalusi (384-456 H) berusaha keras merancang-bangun mazhab kalam dan fiqih yang bersandar pada literal teks dan menggaungkan wacana kembali ke akar (Ushul), sebagai sikap perlawanan atas interpretasi Mu’tazilah, Asy’ariyah dan pelbagai konsensus empat aliran fiqi.
Dari situlah, literalitas Ibn Hazm tampak sebagai proyek ideologi yang memunculkan dirinya sebagai senjata teoritis yang menopang negara Umawiyah Andalusia dari dua musuh kekuatan besar: orang-orang Fatimiyah di Mesir dan orang-orang Abbasiyah di Baghdad. Sayangnya, kemunculan proyek ini dianggap sangat terlambat, karena kekuatan negara Umawiyah Andalusia saat itu tengah berkecamuk bahkan memunculkan “kehancuran” menjadi kerajaan-kerajaan dan kelompok-kelompok kecil, maka pada akhirnya proyek Ibn Hazm harus menunggu kedatangan “rezim” yang dapat membasis dan mengaplikasikannya.
“rezim” yang diharapakan pun akhirnya muncul kepermukaan setelah lebih dari setengah abad untuk membasis proyek Hazm setelah perkembangan dan perluasan cakrawalnya dengan bentuk yang memang merupakan tuntutan perkembangan: rezim tersebut adalah negara Al-Muwahid, di mana filosof Ibn Rusyd hidup dan berkembang dalam naungannya bahkan memberi kontribusi dalam pembentukan strategi budaya pembaruan, sebagaimana yang akan kita lihat. Sebelum itu, harus mengenal “kondisi” ilmu-ilmu lama di Andalusia sebelum terbit matahari filsafatnya bersama dengan Ibn Rusyd, sebab filsafat tidak dapat tumbuh-berkembang dan tidak mendapat sambutan kecuali setelah mengalami tragedi yang cukup panjang.”

B. Kebangkitan Ilmiah pasca Kediktatoran atas Filsafat dan Ilmu-Ilmunya
Andalusia mengenal kebangkitan ilmiyah yang cukup signifikan pada masa rezim Umawiyah, terutama pada masa Al-Nashir dan anaknya, Al-Muntashir. Kedua penguasa ini mengusung karya-karya besar mengenai ilmu-ilmu lama dan baru dari Baghdad, Mesir dan pelbagai daratan Timur Islam (Al-Masyriq); suatu pengusungan yang hampir-hampir saja melampaui pengusungan yang pernah dilakukan dalam yang waktu yang cukup lama oleh para penguasa Abbasiyah. Sekalipun dari kalangan raja, dorongan oleh kecintaannya terhadap ilmu, perhatiannya yang tumpah untuk memperoleh kebajikan, dan kenyamanan jiwanya yang menyerupai ahli hikmah, sekalipun dari kalangan raja. Maka masyarakat pada masanya gemar membaca karya-karya orang-orang terdahulu dan mempelajari pelbagai mazhabnya”.
Hanya saja, posisi puncak yang pernah diperoleh filsafat dan “ilmu-ilmu lama” hingga menempati surga firdaus yang hilang tidak bertahan lama. Posisi puncak itu jatuh pada posisi yang paling bawah ketika Al-Manshur Ibn Abi ‘Âmir—(wafat 392 H) yang sering ditulis dalam buku-buku sejarah dengan sebutan Ibn Al-Muntanshir—menggantikan ayahnya yang saat itu masih anak-anak.
Al-Manshur bin Abi ‘Amir bertindak diktator terhadap persoalan negara dan sengaja merangkul para ahli fiqih dan pemuka agama yang kaku untuk mengeluarkan buku-buku yang menyangkut ilmu-ilmu lama--ilmu manthiq (ilmu logika) ilmu perbintangan dan lain sebagainya yang berasal dari ilmu-ilmu orang-orang terdahulu, lebih-lebih ilmu kedokteran dan ilmu hitung—dari perpustakaan kerajaan, bahkan memerintahkan untuk membakarnya. Hal itu dilakukan karena untuk menarik perhatian dari kalangan masyarakat umum Andalusia dan mendukung pandangan negatif mereka terhadap ideologi yang diproklamirkan Khalifah Al-Hukm (Al-Mustanshir billah), karena dalam anggapan mereka ilmu-ilmu tersebut tidak digunakan oleh generasi Islam pertama dan dicela oleh para pemuka agama mereka. Dalam pandangan mereka, siapa saja orangnya yang membaca ilmu-ilmu tersebut dianggap telah keluar dari agama, juga dianggap telah menodai Syari’ah. Akibatnya, orang-orang yang dulu gemar membaca buku-buku filsafat seperti matahari terbit bersinar kian mulai meredup, jiwa-jiwa mereka semakin tidak berisi dengan pengetahuan, mereka menutupi ilmu-ilmu yang mereka miliki...hingga pada akhirnya negara bani Umayah musnah dari Andalusia dan lahirlah masa kerajaan-kerajaan kelompok yang saling mencoba menguasai satu sama lain “Raja-raja besar Cordoba melakukan pelbagai cara untuk membodohi masyarakatnya, di antaranya adalah menyulutkan ketegangan dengan menjual buku-buku yang ada di perpustakaan kerajaan dan pelbagai barang kerajaan dengan harga yang sangat murah. Buku-buku yang dijual murah itu tersebar di Andalusia, di antaranya karya-karya mengenai ilmu-ilmu lama yang lepas dari pembakaran karya-karya para filosof terdahulu pada masa Al-Manshur bin Abi ‘Amir, dan tampaknya saat itulah orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap buku-buku mengenai ilmu-ilmu lama bisa memiliki, sehingga gairah mencari ilmu lama sedikit-demi sedikit justru semakin meningkat, bahkan sekarang ini kebencian kelompok anti filsafat sedikit demi sedikit terpinggirkan. Segala puji bagi Allah, kondisinya sekarang ini lebih dari Andalusia yang pernah membolehkan membaca ilmu-ilmu dan berpaling dari pencariannya ingga raja-raja bersungguh-sungguh mempelajari ilmu-ilmu ini dan lainnya.

C. Negara Para Ahli Fiqih dan Keterasingan Para Filofos
Begitulah situasi ilmu-ilmu lama di Andalusia—sebagaimana yang diisyarakatkan oleh Abû Al-Qâsim Shâ’id Al-Andalusî (320-462 H)—sebelum berdirinya pemerintahan Al-Murâbthîn tahun 453 H. Karakteristik yang menonjol pada masa pemerintahan ini, seperti yang disepakati para sejarawan adalah dikuasai oleh para ahli fiqih, hal itu karena beberapa sebab yang terkait dengan watak pemerintahan itu sendiri. Dinasti Al-Murâbithîn berdiri berdasarkan pada bentuk persekutuan antara “dakwah” dan “akidah”: dakwah agama yang dipimpin oleh seorang ahli fiqih, Abdullah bin Yâsîn, yang mempunyai hubungan kuat di Maghrib selatan (kini menjadi Mortenia) sebagai sosok penutur agama dan penyeru tindakan-tindakan yang baik dan pencela tindakan-tindakan yang buruk nilai mengajak hal baik serta mencegah hal yang buruk












Filsafat Di Kawasan Masyriq: Penyesuaian yang Gagal
Itulah latarbelakang politik dan aspek-aspek yang telah memainkan peran aktif dalam perkemangan pemikiran Arab-Islam, baik kawasan Masyriq maupun Maghrib, semenjak permulaan

mas bolet

Baca Selengkapnya.....

About Me

Foto saya
saya hanya orang yang ingin menjadi orang yang sukses !!! Santay dg kehidupan hadapi apa adanxa syukuri apa yg ada hidup adalah anugrah

salam jumpa

assalamualaikum.wr.wb
selamat datang di blog kami smoga bermanfaat amiiin?
wassalamualaikum.wr.wb

new album

new album
senyum manyun

blognya mas bolet ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO